Beranda · Pendidikan · RPP · Pengetahuan Agama · Lainnya

Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari

Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari- Filsafat Bahasa

16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari

Dengan telah memeriksa tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, tugas kita yang tersisa di Bagian Dua ini adalah mempertimbangkan bagaimana penekanan yang berlebihan pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang lalu saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.

Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari

Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari

Pada jam kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf saat ini, identik dengan “peralihan linguistik”.

Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.

Untuk lebih luas dan lengkap mengenai Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari silahkan unduh saja di bawah ini :
Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari [DOWNLOAD]
Salah seorang filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge.

Jika Frege dapat dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.

Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari

Artikel keren lainnya:

Pokok-pokok FIlsafat Bagian Ke-V tentang Geometri Logika

Pokok-pokok FIlsafat Bagian Ke-V tentang Geometri Logika-Pekan V Geometri Logika
13. Pemetaan Hubungan Analitik
Di kuliah pertama tentang logika, kita pelajari bahwa logika—yaitu logika analitik—menyarikan kebenaran konkret suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma telanjangnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya. Pada pekan ini saya hendak merambah beberapa cara pengalihan bentuk telanjang ini menjadi bentuk bergambar, yang lebih kaya.
Para filsuf sejak Aristoteles, dan bahkan sebelum itu, hampir seluruhnya mengakui bahwa logika dan matematika merupakan disiplin yang bertalian erat. Hingga pertengahan abad kesembilanbelas, kebanyakan filsuf akan mengatakan pertalian tersebut terbatas pada aritmetika pada khususnya, yang di dalamnya fungsi-fungsi seperti penambahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian mempunyai analogi yang jelas dengan operator-operator logika seperti “dan”, “tidak”, dan sebagainya. Namun kemudian seorang cendekiawan yang bernama George Boole (1815-1864) menulis buku yang mempertahankan sesuatu yang ia sebut “Aljabar Logika”. Ia memperagakan bahwa hubungan aljabarik pun bertalian erat dengan hubungan logis dalam banyak hal.

Pokok-pokok FIlsafat Bagian Ke-V tentang Geometri Logika

Walaupun ide-ide Boole terlalu rumit untuk dicermati di sebuah matakuliah pengantar, saya menyebut penemuannya karena saya yakin bahwa penemuan serupa menanti kita di kawasan geometri. Karena alasan ini, saya telah menggunakan beberapa diagram sederhana, di keseluruhan matakuliah ini, dengan cara yang sesuai dengan sesuatu yang saya sebut “Geometri Logika”. Pada pekan ini saya akan menjelaskan secara rinci bagaimana diagram-diagram itu dan diagram-diagram lain pada aktualnya berfungsi sebagai “peta-peta” hubungan logis secara tepat. Kuliah pertama akan memeriksa cara penyusunan peta yang bersesuaian dengan hubungan analitik, sedangkan kuliah kedua dengan hubungan sintetik. Lalu Kuliah 15 akan menyediakan banyak contoh tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan peta-peta tersebut untuk mendorong dan memperluas wawasan kita.

Pokok-pokok FIlsafat Bagian Ke-V tentang Geometri Logika

Suatu analogi yang sempurna bisa dibangun antara struktur gambar-gambar geometris sederhana dan jenis-jenis pembedaan logis yang paling mendasar, meskipun ini jarang, kalau pernah, diakui sepenuhnya di masa lalu. Butir-awal analogi ini adalah hukum analitik identitas (A = A); ini mengasumsikan bahwa sesuatu “ialah sebagaimana adanya” (a thing is “what it is”). Untuk memilih diagram akurat yang dapat melambangkan hukum logika yang paling sederhana ini, yang kita butuhkan hanyalah memikirkan gambar geometris yang paling sederhana: sebuah titik. Secara teknis, titik itu berada sebagai posisi tunggal, tanpa pelebaran nyata ke arah mana pun, walau tentu saja bintik hitam yang melambangkan titik di Gambar V.1 pasti sedikit-banyak memiliki pelebaran supaya kita dapat melihat posisinya.
.A

Fungsi hukum non-kontradiksi adalah memperlawankan “A” yang sendirian dalam hukum identitas dengan lawanan (opposite)-nya, “-A”. Gambar geometris yang memperlebar suatu titik dengan arah tunggal disebut garis. Tentu saja, ada dua jenis garis: lurus dan lengkung. Begitu pula, ada dua cara yang baik perihal penggambaran oposisi logis antara “A” dan ”-A” dalam bentuk gambar geometris: dengan menggunakan dua ujung segmen garis, atau dengan memakai sisi dalam dan sisi luar lingkaran, seperti terlihat di bawah ini:
+
                                +
      -
                                           -
(a) Lingkaran            (b) Garis
Pokok-pokok FIlsafat Bagian Ke-V tentang Geometri Logika [DOWNLOAD]
Perhatikanlah bahwa saya melabeli gambar-gambar itu dengan “+” dan “-“ saja. Simbol-simbol ini diturunkan langsung dari hukum non-kontradiksi, hanya dengan menjatuhkan “A” dari kedua sisi per[tidak]samaan “A ? -A”. “A” adalah lambang formal “isi”, sehingga menjatuhkan simbol ini menyiratkan, dengan cukup baik, bahwa dalam Geometri Logika, kita hanya memperhatikan bentuk perangkat-perangkat konsep yang kita pakai yang pada logikanya telanjang. Karena ciri sederhana ini muncul dari hukum logika analitik, saya menyebutnya “hubungan analitik tingkat-satu” (atau “1LAR”). Seperti yang akan kita saksikan, pelambangan hukum ini dengan persamaan yang lebih sederhana, “+ ? -“ (yakni positif tidak sama dengan negatif), jauh mempermudah penanganan lawanan-lawanan logis yang tingkatnya lebih tinggi dan lebih rumit.

Segmen garis dan lingkaran bisa dimanfaatkan sebagai peta segala pembedaan yang pada dasarnya antara dua sebutan (term) yang berlawanan. Pembedaan sedemikian itu, seperti yang kita pelajari dari Chuang Tzu pekan lalu, sudah lazim dalam cara pikir kita sehari-hari di dunia ini. Kita biasanya membagi benda-benda ke dalam pasangan-pasangan lawanan: pria-wanita, siang-malam, panas-dingin, dan sebagainya. Dalam kebanyakan hal, saya yakin segmen garis menyodorkan cara tertepat untuk melambangkan pembedaan-pembedaan semacam itu. Karena lingkaran menetapkan tapal batas antara “sisi luar” dan “sisi dalam”, kita seyogyanya menggunakan gambar ini hanya bila ada ketidakseimbangan antara dua sebutan yang dibicarakan—seperti, misalnya, bila satu sebutan bertindak sebagai pembatas sebutan lain, tetapi tidak sebaliknya.

Artikel keren lainnya:

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika- Pekan IV Dari Metafisika ke Logika.

28. Apakah Logika Itu?
Hari ini kita memulai bagian kedua dari empat bagian utama matakuliah kita. Di Bagian Satu, akar-akar pohon filsafat memberi kita wawasan penting mengenai metafisika, yang pada awalnya ditemukan oleh Sokrates, lalu diungkap dengan jauh lebih lengkap oleh Kant. Seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terpendam di tanah sehingga kita tidak bisa melihatnya, sebagaimana adanya (sekurang-kurangnya tidak tanpa menumbangkan pohon), landasan metafisis pengetahuan kita pun terdiri atas sesuatu yang pada dasarnya tak dapat diketahui oleh benak manusia. Dengan dilengkapi dengan wawasan ini, sekarang kita  bisa menarik diri dari kedalaman metafisika yang kelam dan naik ke bagian pohon filsafat yang membiarkan diri untuk diamati dengan lebih mudah.

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika

Seperti yang kita perhatikan di Kuliah 1, “logika” filosofis itu bagaikan batang pohon. Namun, apakah logika itu? Saya ingin kalian turut menjawab pertanyaan ini untuk beberapa saat. Saya menduga, sebelum kalian mengikuti matakuliah ini kebanyakan dari kalian lebih memiliki pandangan mengenai hakikat logika daripada mengenai hakikat filsafat pada umumnya. Jadi, saya harap pertanyaan diskusi ini akan agak lebih mudah daripada yang kita hadapi di Kuliah 1. Siapa yang mau mengajukan jawaban pertama? Apakah logika itu?

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika

Mahasiswa H. “Saya pikir logika itu seperti sains: sama-sama diharapkan untuk mengajarkan kita fakta-fakta di dunia ini, sehingga kita tidak harus bersandar pada pendapat kita belaka.”

Logika memang berkaitan dengan sesuatu yang mempermudah kita dalam melihat hal-hal di balik opini kita sendiri. Akan tetapi, saya rasa saya tak mungkin sepakat dengan anda bila anda hubungkan logika sedemikian dekat dengan fakta-fakta ilmiah. Namun demikian, saya senang anda mengatakannya, karena pandangan yang keliru mengenai logika ini banyak dianut oleh mahasiswa yang baru belajar filsafat. Logika sebetulnya sama sekali tidak mengajarkan kita fakta-fakta baru! Sesungguhnya, logika lebih menyerupai metafisika daripada fisika bila sampai pada persoalan pengajaran fakta-fakta baru. Metafisika, sekurang-kurangnya bagi Kant, tidak menambah pengetahuan sama sekali, tetapi mencegah kekeliruan, seperti halnya akar-akar pohon tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar buahnya sehat. Begitu pula batangnya, logika. Alasan mengkaji metafisika dan logika bukanlah agar kita bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain. Kalau tidak, kita bisa mendapati diri membudidayakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita “gigit”. Jadi, apakah logika itu?

Untuk kawan kawan yang ingin membaca lebih lengkap mengenai peralihan dari Metafisika Ke Logika silahkan diunduh link di bawah ini : 
Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika [DOWNLOAD]
Mahasiswa I. “Logika adalah proses berpikir selangkah demi selangkah, seperti yang selalu dipakai oleh ilmuwan yang baik.”

Saya rasa pandangan anda benar bahwa berpikir ilmiah harus logis; berpikir “selangkah demi selangkah”, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut suatu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala hal yang logis. Kata “tatanan” (order) menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir kita. Saya menganggap itulah maksud anda kala mengatakan “selangkah demi selangkah”. Namun jawaban anda memperlihatkan bahwa anda salah paham terhadap pertanyaan saya. Apakah kalian menyadarinya? Jika dalam Pengantar Sejarah seorang mahasiswa menanyai saya “Apakah sejarah itu?”, maka memadaikah jawaban saya kepadanya bila mengatakan “Sejarah adalah sesuatu mengenai masa lalu yang penting”? Adakah di antara kalian yang sedang mempelajari sejarah saat ini yang bisa memberi tahu saya apakah pemerian saya tentang apa yang sedang anda pelajati itu akurat ataukah tidak? 

Mahasiswa J. “Kami belajar banyak mengenai peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi di masa lalu.”
Itukah tepatnya yang anda pelajari? Di semua matakuliah, para mahasiswa pasti mempelajari hal-hal penting mengenai masa lalu tanpa benar-benar mengkaji sejarah. Contohnya, di kuliah-kuliah terdahulu kita sudah mempelajari metafisika dengan menelaah ide-ide filsuf masa lalu, tetapi pengambilan pendekatan historis tidak berarti kita mengkaji sejarah begitu saja. Hal lain apa yang kalian pelajari di matakuliah sejarah?

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-IV Peralihan dari Metafisika ke Logika

Mahasiswa J. “Sebagian pengajar menyajikan berbagai teori tentang bagaimana perubahan historis pada aktualnya berlangsung, umpamanya perdebatan apakah sejarah itu seperti garis ataukah lingkaran. Juga, kita diharapkan untuk tidak sekadar mempelajari fakta-fakta masa lalu, tetapi mengapa fakta-fakta itu signifikan, dan bagaimana kita bisa menafsirkannya dengan cara sebaik-baiknya.”

Artikel keren lainnya:

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif- Pekan IIIKhazanah Modern

7. Filsafat Sebagai Kesangsian Meditatif
Bayangkan suatu pohon. Mungkin lukisan yang saya buat di sini (lihat Gambar III.1) akan mempermudah anda (walau ini juga menunjukkan bahwa anda tidak harus menjadi seniman untuk menjadi filsuf!). Nah, bagaimana filsafat itu menyerupai pohon? Sesungguhnya, ada banyak contoh kemungkinan penerapan analogi ini. Salah satu cara yang menarik dikemukakan oleh seorang filsuf yang ide–idenya akan kita bahas pada jam kuliah ini. Ia menyusun versinya sendiri mengenai mitos yang memandu kuliah ini, dengan mengklaim bahwa filsafat itu seperti pohon yang mempunyai metafisika sebagai akar–akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang–cabangnya.

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif

Dalam hal ini, yang semestinya merupakan pemikiran yang akurat tentang bagaimana filsafat berfungsi pada abad ke tujuhbelas, daun–daun pohonnya kemungkinan besar berkorelasi dengan pengetahuan, kendati filsuf yang kita bicarakan tidak menyangkut-pautkan analoginya sejauh itu. Demi maksud kita di Bagian Satu matakuliah ini, kita sekurang–kurangnya bisa setuju bahwa metafisika tentu saja mempunyai fungsi yang serupa dengan akar-akar pohon. Setelah kita tuntaskan sembilan kuliah pertama kita, saya harap alasan–alasan untuk itu cukup jelas. Namun pada saatnya nanti, saya akan menyarankan revisi terhadap beberapa aspek lain pada versi mitos ini, supaya tidak ketinggalan zaman (lihat Gambar III.1).
                           Ilmu

                          Fisika

                        Metafisika

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif

Nama filsuf tersebut yang akan segera anda akrabi lantaran sumbangan yang ia berikan di bidang matematika ialah RenĂ© Descartes (1596–1650). Ia tidak hanya turut mengembangkan aljabar lebih lanjut, tetapi juga menemukan sistem koordinat geometri yang kita pelajari di sekolah. Ketika ia beralih perhatian ke filsafat, ia mengakui adanya masalah yang melekat dalam tradisi filsafat.
Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif [DOWNLOAD]
Selama duaribu tahun, sistem Plato dan Aristoteles sedikit-banyak telah mendominasi semua pemikiran filosofis di Barat. Tatkala agama Nasrani muncul di kancah [filsafat untuk pertama kalinya], sebagian besar pater gereja mengambil beberapa versi idealisme Platonik sebagai basis bagi teologi mereka. Kecenderungan itu memuncak pada sistem filosofis dan teologis yang dibangun oleh St. Agustinus (354–430), yang pengaruhnya sepeninggalnya sedemikian dominan selama masa yang disebut Zaman Kegelapan sehingga Aristoteles benar–benar terlupakan di Eropa. Untungnya, cendekiawan–cendekiawan Muslim melestarikan tulisan–tulisan Aristoteles selama periode itu, terutama dengan bahasa Arab, yang menggunakannya sebagai landasan untuk penyusunan berbagai bentuk filsafat dan teologi Islam. Akhirnya, realisme Aristoteles kembali ke Eropa, terutama melalui karya St. Thomas Aquinas (1225–1274), yang sistem teologis berskala besarnya terus menjadi sumber teologi Katolik hingga hari ini. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah [filsafat], tidak ada alternatif signifikan yang ditawarkan selain aliran idealis (Platonik–Agustinian) dan realis (Aristotelian–Thomis). Adakah sesuatu yang salah pada dua sistem ini yang menghalangi timbulnya kemajuan filsafat dari para filsuf lain? 

Descartes yakin, kedua tradisi tersebut menderita cacat yang sama. Kebuntuan itu tercipta oleh kurangnya  kebenaran mutlak total yang bisa berfungsi sebagai titik tolak yang tak terbantahkan untuk penyusunan sistem pengetahuan tulen (yaitu ilmu). Wawasan ini menimbulkan pertanyaan baru di benak Descartes: bagaimana bisa kepastian mutlak semacam itu dibuktikan? Metode dialog Plato ataupun metode teleologis Aristoteles tidak mampu menghasilkan pondasi yang kokoh bagi suatu ilmu yang benar–benar ketat. Lantas, bagaimana bisa pondasi semacam itu didapatkan? Dalam perenungan terhadap pertanyaan ini, Descartes menemukan ide baru yang akan memungkinkan kita untuk menetapkan kepastian untuk sekali ini dan selamanya. Dengan mengganti dialog dengan meditasi menyendiri, metode barunya adalah kesangsian (doubt). Dengan secara sistematis menyangsikan segala sesuatu mengenai dunia dan mengenai kita sendiri yang, menurut perkirakan kita, kita ketahui, kita berharap memperoleh sesuatu yang akan mustahil untuk diragukan. Ini kemudian bisa berfungsi sebagai titik pijak pasti secara mutlak bagi pembangunan sistem filosofis posit.

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-III Tentang Khazanah modern dan Filsafat sebagai Kesangsian Meditatif

Artikel keren lainnya:

Pokok-pokok Filsafat Bagian kedua mengenai Asal-Mula Filsafat

Pokok-pokok Filsafat Bagian kedua mengenai Asal-Mula Filsafat- Pekan II Asal-Mula Filsafat
4. Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis
Setelah kita amati pada Pekan I bahwa filsafat lahir dari mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos begitu saja bukanlah filsafat. Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat, justru bisa disebut "demitologisasi". Istilah ini mengacu pada proses pengambilan "mitos" (dalam pengertian modern sebagai "keyakinan yang keliru") keluar dari mitos--yaitu mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan dengan harapan mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih andal. Jadi, sebagai misal, ketika saya menyarankan dalam kuliah yang lalu bahwa kita semua harus mengakui "pohon filsafat" sebagai mitos untuk kuliah-kuliah ini, kita sebenarnya tidak berfilsafat. Alih-alih, kita menyiapkan landasan untuk menanam pohon itu sendiri. Sesudah anda menyudahi matakuliah ini, saya harap anda masing-masing akan menyediakan waktu secara serius untuk bukan hanya mempertanyakan mitos, melainkan juga mempertanyakan analogi (puitis) bahwa "filsafat itu laksana pohon". Namun jika anda buru-buru mempertanyakan prakiraan ini di sini, akan anda dapati bahwa landasan benak anda terlalu payah untuk menerima wawasan yang bisa diilhamkan oleh mitos ini kepada kita.

Salah satu wawasan tersebut adalah bahwa, sebagaimana pohon merupakan organik lengkap yang terdiri atas empat bagian utama (akar, batang, cabang, daun), banyak juga, kalau bukan sebagian besar, ide filosofis yang diorganisasikan menurut pola seperti itu. Kita telah melihat beberapa pola tersebut di Pekan Pertama. Namun sebelum kita mengamati beberapa contoh bagaimana demitologisasi berjalan di Yunani kuno, saya akan menunjukkan beberapa pola lipat-empat menarik lainnya.

Pokok-pokok Filsafat Bagian kedua mengenai Asal-Mula Filsafat

Pokok-pokok Filsafat Bagian kedua mengenai Asal-Mula Filsafat

Untuk membaca lebih lerngkap dan jelasnya silahkan unduh artikelnya dibawah ini : 
Pokok-pokok Filsafat Bagian kedua mengenai Asal-Mula Filsafat [DOWNLOAD]
Jika pola "mitos, sastra, filsafat, ilmu" diakui sebagai paparan perkembangan cara pikir manusia pada skala makrokosmik (yakni budaya manusia), maka kita jangan terkejut mendapati pola serupa yang berjalan pada skala mikrokosmik (yakni individu manusia). Salah satu cara umum terpenting$pemaparan tahap-tahap perkembangan individu adalah mengacu pada "lahir, muda, dewasa, dan tua". Dengan mengkorelasikan masing-masing itu dengan tingkat kesadaran yang secara progresif lebih tinggi, muncullah pola yang tampak pada Gambar II.1. Sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang, karena ingin istilah yang lebih baik, bisa kita sebut super-sadar (super-conscious). Kealiman para orang tua diakui pada semua masyarakat tradisional terutama bukan karena banyaknya tahun-tahun yang mereka alami, melainkan karena cara pikir baru yang terbuka bagi mereka; bila mereka mengambil keuntungan darinya, mereka bisa memandang implikasi yang lebih luas dari hal-hal di luar mereka sendiri.
                   lahir
    super-sadar           bawah-sadar
tua                                    muda
    sadar-diri             sadar
                   dewasa
Kealiman mereka yang dihasilkan pada "tahun-tahun keemasan" mereka itu mengandung banyak kemiripan dengan jalan hidup orang-orang yang dalam imajinasi kita hidup di suatu "masa keemasan" yang padanya banyak budaya menengok ke belakang (Lihat Kuliah 3). Sekalipun demikian, yang terakhir ini tidak bersesuaian dengan masa tua, tetapi dengan pengalaman bayi pralahir di rahim ibunya. Pemetaan kaitan-kaitan ini pada suatu lingkaran menyiratkan dengan tepat sifat melingkar perkembangan yang kita pertimbangkan di sini: kesupersadaran bisa juga meliputi penangkapan kembali sesuatu yang hilang pada saat kelahiran seseorang--suatu gagasan yang dipertahankan oleh Plato sebagaimana yang akan kita amati di Kuliah 5.

Setiap tahap ini bisa juga berkorelasi dengan daya atau "fakultas" benak insani tertentu, seperti terlihat dalam Gambar II.2. Imajinasi merupakan daya yang mengatur tahun-tahun pertama kehidupan kita, laksana mitos yang mengatur pemikiran orang-orang yang hidup di budaya primitif. Sebagaimana semua orang tahu, perbedaan antara fantasi dan realitas tidak berbeda dalam benak anak-anak sejati. Namun pada remaja, daya ini diambil alih oleh gelora jiwa (passion): dengan berubahnya raga pada masa pubertas, benak pun mengubah cara mengadaptasi alam. Pujangga digerakkan oleh gelora jiwa untuk dengan kata-kata mengungkap sesuatu yang pada masa kanak-kanak hanya merupakan impian. Sebaliknya, para filsuf biasanya dikenal bukan karena gelora jiwa mereka. Ini karena daya yang cocok dengan budi-diri dewasa adalah daya pemahaman. Daya ini, bila berkembang sepenuhnya, beralih menjadi daya penimbangan. Tugas para ilmuwan adalah melampaui sudut pandang mereka sendiri dengan tujuan menimbang-nimbang bagaimana alam pada kenyataannya. Demikian juga, orang-orang yang betul-betul pantas disebut "tua" ialah mereka yang benaknya diatur terutama oleh daya penimbangan ini.
                   lahir
                  (mitos)
     penimbangan        imajinasi
 tua                                  muda
(ilmu)                              (sastra)
     pemahaman         gelora jiwa
                   dewasa
                 (filsafat)
Dengan menentukan arah pengungkapan daya-daya ini, pemahaman kita menjadi lebih lengkap mengenai kesalingterkaitan antara ide-ide itu. Mitos menggunakan imajinasi untuk mengungkap keyakinan. Sastra memakai gelora jiwa untuk mengungkap keindahan. Filsafat memanfaatkan pemahaman untuk mengungkap kebenaran, sedangkan ilmu (science) menerapkan penimbangan untuk mengungkap pengetahuan.

Artikel keren lainnya:

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan- BAGIAN SATU: AKAR METAFISIKA DAN PENGAKUAN KEBEBALAN
Pekan I

Wawasan: Membenahi Kehidupan
1. Apakah Filsafat Itu?
Saudara-saudara, apakah filsafat itu? Saya awali kuliah ini dengan meminta anda menjawabnya.
"Bodoh," mungkin anda pikir, "kami menempuh matakuliah ini karena tidak tahu apakah filsafat itu, jadi mengapa anda mengharap kami menjawab pertanyaan yang mendasar seperti itu pada menit-menit pertama kita?"

Percayalah! Sepuluh atau limabelas menit pertama yang kita sita untuk menjawab pertanyaan tersebut akan menjadi awal yang baik demi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Sekarang, jika benak anda kosong, cobalah berpikir mengenai apa yang sedang kita lakukan saat ini. Apa yang sedang kita kerjakan pada detik ini yang berbeda dengan yang kita perbuat di matakuliah lain?
Mahasiswa. "Hmm."

Ayo, siapa yang ingin menjadi orang pertama? Jangan malu! … Tahukah kalian, ketika pertama kali saya ajarkan kuliah ini, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya memperoleh nilai "A"! Kini, siapa yang suka menjadi orang pertama?

Mahasiswa A. "Berpikir. Kita sedang berpikir. Apakah filsafat itu tentang berpikir?"
Ya. Memang itulah tugas pokok filsuf. Omong-omong, ketika saya mengajar kuliah ini untuk kedua kalinya, mahasiswa pertama yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut akhirnya mendapatkan nilai "D". Jadi, jangan harap nilai "A" itu mudah! Sesungguhnya, kita sering berpikir dengan cara yang tidak "filosofis". Jadi, apa perbedaan antara berpikir secara filosofis dan berpikir secara lain?

Mahasiswa B. "Filsafat itu abstrak. Tidak ada jawaban yang pasti. Setiap orang punya ide sendiri-sendiri tentang persoalan filosofis, dan tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran yang mutlak."
Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Itu pandangan yang sangat umum. Banyak argumen filosofis yang memang abstrak, namun bukankah benar pula bahwa filsafat kadang-kadang sangat konkret dan juga praktis? Bahkan, saya lebih cenderung mengatakan: jawaban yang terang terhadap sebagian besar pertanyaan filosofis terlalu banyak. Namun biarlah kami nyatakan sendiri, anda telah mendapatkan suatu ciri khas persoalan filosofis yang membedakannya dari kebanyakan perburuan intelektual lainnya. Tidak peduli berapa kali pertanyaan terjawab, kelihatannya selalu ada sesuatu yang masih misterius. Karenanya, pada pandang pertama, filsafat menjadi sangat berbeda dengan ilmu pengetahuan.

Namun demikian, mari kita amati terus apa yang kita lakukan saat ini, dan kita mencoba menangkap pertanda yang lebih jitu tentang alam filsafat. Beberapa filsuf mengutarakan bahwa dalam filsafat, sebagaimana dalam kehidupan kita sendiri, "kita membangun perahu di tempat kita mengapungkannya." Lantas, apa yang — ya?
Mahasiswa C. "Pertanyaan dan jawaban. Apakah filsafat ada hubungannya dengan pertanyaan dan jawaban?"
Tentu saja. Pada kenyataannya, unsur-unsur filsafat dan bahkan aliran-aliran filsafat yang berlainan bisa dibedakan dengan memperhatikan perbedaan tipe pertanyaan yang diajukan. Akan tetapi, semua disiplin akademis pun menghajatkan pertanyaan dan jawaban. Jadi, apa yang membedakan pertanyaan filosofis dari tipe-tipe lainnya? Apa yang saya upayakan saat ini dengan meminta anda memikirkan pertanyaan “Apakah filsafat itu?”, dan mengapa saya tidak puas dengan jawaban yang sederhana, seperti "filsafat adalah berpikir"?
Mahasiswa D. "Karena anda berusaha membujuk kami untuk melihat hal-hal yang terdapat di bawah permukaan. Kita semua tahu bahwa para filsuf banyak berpikir, tetapi anda berupaya mendorong kami untuk menatap makna yang lebih dalam."
Tepat. Alasan mengapa pertanyaan yang diajukan dalam kebanyakan disiplin akademis lain dapat dijawab dengan lebih pasti ialah karena jawaban non-filosofis biasanya hanya mempedulikan permukaan. Para filsuf, sekurang-kurangnya filsuf yang baik, tidak puas sampai mereka menggali sedalam-dalamnya persoalan yang mereka ajukan sendiri. Kadang-kadang, gagasan filosofis sulit dipahami bukan karena terlalu abstrak, terlampau melayang jauh dari kehidupan kita sehari-hari, melainkan justru karena teramat konkret! Filsafat ada kalanya menyentuh sedemikian-dalam hal-hal yang tak terpahami oleh kita karena obyek pembahasan itu terlalu dekat dengan kehidupan kita. 

Pernahkah anda mencoba melihat mata kanan anda dengan mata kiri anda?
Mahasiswa E. "Bisakah anda memberi kami satu contoh pertanyaan yang filosofis?"
Bisa, bahkan lebih dari satu. Saya akan mengemukakan empat contoh pertanyaan yang diajukan oleh filsuf-filsuf yang baik. Secara demikian, saya mengantarkan anda ke sesuatu yang saya yakini sebagai empat unsur utama dalam bidang filsafat. Dua unsur awal bersifat teoretis. Unsur pertama ialah metafisika; pertanyaan yang menetapkan tugas metafisika adalah "Apa yang pada hakikatnya nyata?". Memeriksa jawaban atas pertanyaan ini merupakan kewajiban kita dalam Bagian Satu matakuliah ini. Bagian Dua berkenaan dengan unsur kedua, logika; penentuan persoalannya bisa diungkap sebagai "Bagaimana kita memahami makna kata-kata?"

Dua unsur akhir bersifat praktis. Unsur ketiga dapat disebut "filsafat terapan". Nah, penerapan kata-kata bermakna itu mestinya menimbulkan pengetahuan; kata Inggris "science" berasal dari kata Latin sciens yang berarti "mengetahui", sehingga kita bisa menamakan unsur ketiga ini science (ilmu), [1] asalkan kita ingat bahwa kita menggunakan kata ini bukan seperti yang biasanya dimengerti dalam bahasa sehari-hari. Pertanyaan filosofis mengenai ilmu adalah "Di manakah garis tapal batas yang tepat antara pengetahuan dan kebebalan?". Unsur keempat ialah ontologi, yang mengajukan pertanyaan "Apa maksud keberadaannya?" Dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan ontologis, kita berharap meningkatkan pahaman kita tentang sifat dasar berbagai benda (umpamanya, Tuhan, manusia, hewan), atau tipe pengalaman yang berlainan (contohnya, keindahan, cinta, kematian).

Pada matakuliah ini kita berkesempatan untuk mencari jawaban atas keempat pertanyaan tersebut, sehingga memperhatikan hubungan masing-masing sebagai satu keseluruhan bisa bermanfaat. Untuk mengungkap pandangan-pandangan dalam bentuk yang sederhana, namun sistematis, salah satu alat-bantu pengajaran kegemaran saya, seperti yang akan segera anda jumpai, adalah diagram-diagram terutama salib, segitiga, dan lingkaran. Pada Pekan V, kita akan melihat bahwa semua diagram [di buku ini] dibangun menurut pola logis tertentu. Akan tetapi, untuk saat ini, kita hanya memperlakukannya sebagai seperangkat cara yang mudah untuk melihat pertalian antara rangkaian istilah-istilah tersebut. Mari kita manfaatkan sepotong salib sebagai sejenis "peta" untuk matakuliah kita dengan menempatkan keempat unsur filsafat pada keempat ujungnya, sebagaimana tergambar di bawah ini:
                           IV. ontologi:
                            Apa maksud
                          keberadaannya?
                  filsafat
                   praktis
     III. ilmu:                                    I. metafisika
   Di mana garis                                   Apa yang pada
batas pengetahuan?                               hakikatnya nyata?
                                         filsafat
                                         teoretis
                            II. logika:
                     Bagaimana kita memahami
                         makna kata-kata?
Tentu saja, kita akan mengajukan banyak pertanyaan filosofis lain pada kuliah-kuliah [di buku] ini, tetapi sifat fundamental keempat persoalan tersebut perlu diakui.
Mahasiswa F. "Hari ini anda beberapa kali mengacu pada 'filsuf yang baik'. Kedengarannya agak gegabah. Apakah anda menyiratkan bahwa ada 'filsuf yang buruk'? Apakah anda berhak menghakimi pendapat orang lain sebagai baik atau buruk? Betapapun juga, setiap orang memiliki hak atas pendapat mereka sendiri!"
Ya, memang benar. Akan tetapi, perbedaan antara filsuf yang baik dan yang buruk tidak berkaitan dengan "opini". Ini mengenai penalaran. Nalar memungkinkan kita untuk membedakan yang baik dari yang buruk, tetapi tanpa perlu menghujat. Maka, saya berujar: memang ada filsuf yang buruk. Pada kenyataannya, tampaknya sayangnya seakan-akan filsuf yang buruk lebih banyak daripada yang baik. Jadi, jangan terkejut bila anda menyimak saya mengucapkan kata-kata sedemikian itu pada kuliah-kuliah kita ini. Namun demikian, saya harap anda tidak merasa terhina. Kata "baik" dan "buruk" di sini tidak dimaksudkan sebagai penilaian moral. Bahkan, bagi saya istilah-istilah ini mengacu pada filsuf-filsuf yang menyandang tugas filsafat dengan cara yang seimbang, yang berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa bidang perhatian filsafat yang sebenarnya itu sangat sempit atau sangat luas. Biar saya perjelas lagi, apa yang saya maksud dengan pembedaan ini.

Ada tiga arah pemahaman tugas filsafat. Yang pertama memandang tugas filsafat sebagai penggunaan pemikiran logis untuk memecahkan masalah-masalah yang sukar, melalui penjernihan konsep-konsep kita. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "filsafat analitik", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa Inggris. Para filsuf analitik cenderung menganggap filsuf sebagai sejenis profesi ilmiah yang istimewa; mereka setiap-waktu menolak terang-terangan gagasan bahwa filsafat itu berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Arah filsafat yang kedua menempati ancangan yang berlawanan, dengan memandang filsafat sebagai jalan hidup, sehingga tugas filsafat berkisar pada pemahaman hakikat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya. Pada filsafat Barat abad keduapuluh, pandangan ini diangkat sebagai ciri khas aliran "eksistensialisme", yang dalam berbagai wujudnya selama seabad ini mendominasi wacana yang berbahasa non-Inggris. Para filsuf eksistensialis cenderung menganggap filsafat sebagai disiplin-studi biasa yang meliputi hampir segala hal yang dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih benar atau lebih "otentik"; namun dalam prosesnya, tulisan-tulisan yang mereka susun tentang kehidupan semacam itu acapkali gelap sekali, sehingga pembaca awam amat kesulitan dalam memahaminya.

Arah filsafat yang ketiga mengakui bahwa kedua pendapat tadi diperlukan untuk menggagas tugas filosofik dengan tepat. Filsuf yang baik mengikuti arah yang ketiga ini, dengan meyakini bahwa tujuan penjernihan konsep-konsep mengarah ke jalan hidup tertentu, dan bahwa penjelasan jalan hidup ini harus diungkap dengan gamblang dan jangan sampai terjerembab ke jurang kegelapan. Filsafat yang tidak ditatap sebagai jalan hidup kelihatannya lebih menyerupai ilmu yang bersifat teknis, sedangkan filsafat yang tidak menghajatkan upaya keras untuk menjernihkan konsep-konsep tampaknya lebih menyerupai agama yang bersifat mistis. Padahal, filsafat, sekurang-kurangnya filsafat yang baik, bukanlah ilmu dan juga bukan agama, melainkan disiplin unik yang tegak di atas tapal batas antara keduanya. Karenanya, kita dapat menggambarkan hubungan antara tiga tipe filsafat tersebut dengan memetakannya pada sepotong segitiga sederhana sebagai berikut:
filsafat analitik:
penjernihan konsep

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

                  filsafat “yang baik”
                  sintesis keduanya

eksistensialisme:
jalan hidup
Untuk lerbih lengkap silahkan unduh saja artikelnya dibawah ini : 

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan [DOWNLOAD]

Omong-omong, barangkali filsuf analitik "yang baik" sama banyaknya (atau sama sedikitnya!) dengan filsuf eksistensial "yang baik". Filsuf analitik yang baik ialah yang bisa berbahasa dengan gamblang tanpa kehilangan wawasan terhadap bidikan-puncak pembelajaran, yakni untuk hidup dengan lebih baik. Sebaliknya, filsuf eksistensialis yang baik ialah yang dapat mengarahkan perhatian kita ke bidikan-puncak itu tanpa penggunaan bahasa yang ruwet atau menyesatkan, yang hanya mengaburkan kebenaran. Maksud saya, bolehjadi pendekatan terbaik untuk memandang filsafat adalah tidak sekedar berakar pada salah satu dari kedua tipe tersebut, tetapi justru berdiri di atas keduanya secara seimbang.
Nah, jam pertama ini hampir habis, namun masih ada waktu untuk satu saran lagi tentang bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan utama kita tadi. Saya penasaran, kalau-kalau ada di antara kalian yang mempunyai sepenggal jawaban yang berbeda dengan jawaban-jawaban yang telah diutarakan sejauh ini. Kita pada dasarnya baru membahas secuil kemungkinan jawaban, padahal filsafat itu mengenai banyak hal.
Mahasiswa G. "Saya pikir selalu, filsafat itu berkenaan dengan sikap takjub (wonder)."
Ketakjuban macam apa? Apakah maksud anda hanya bengong dan melamun? Ataukah terbersit dalam benak anda sesuatu seperti Alice di Negeri Ajaib?
Mahasiswa G. "Saya rasa tidak. Saya pikir, sikap takjub itu semacam semangat belajar untuk menuju kebenaran. Bukankah para filsuf tertarik pada upaya untuk menyelidiki mengapa benda-benda berada sedemikian rupa?"
Memang begitulah! Sebenarnya, kata "filsafat" itu sendiri berasal dari dua kata Yunani "philos" (mencintai) dan "sophos" (kealiman). [2] Jadi, secara harfiah, filsafat itu merujuk pada pencarian secara tak jemu-jemu kebenaran dan penerapannya yang pas pada kehidupan kita. Pencarian ini pasti berkobar dengan semangat "ketakjuban". Oh ya, saya tidak bergurau kala mengacu pada Alice in Wonderland. Ceriteranya penuh dengan gagasan filosofis yang menarik!

Oh ya, tentu saja kita belum selesai menjawab pertanyaan kita. Pertanyaan "Apakah filsafat itu?" memang akan selalu ada di benak kita di sepanjang matakuliah ini. Jika kita mampu menjawab tuntas hari ini, maka sampai di sini saja kuliah kita, dan tigapuluh-lima kuliah sisanya tidak kita perlukan. Akan tetapi, ternyata kita masih jauh dari hal itu. Alih-alih, saya ingin sekali menimbulkan kesan kepada anda bahwa hingga perkuliahan Pengantar Filsafat ini berakhir (mudah-mudahan) anda kurang tahu akan filsafat daripada sebelum anda memasuki kelas hari ini! 

Saya mengatakannya karena, seperti yang akan kita ulas, pada aktualnya filsafat berawal dengan pengakuan kebebalan. Alasan mengawali kuliah pengantar [filsafat] dengan menelaah metafisika tepatnya adalah bahwa metafisika dapat mengajarkan kita perbedaan antara hal-hal yang bisa kita ketahui dan yang tidak bisa kita ketahui. Hanya bila kita telah mempelajarinya, maka kita siap belajar dari logika tentang bagaimana memperoleh pemahaman kata-kata. Logika terutama mengajarkan kita perbedaan antara makna kata kala mengacu pada sesuatu yang dapat kita ketahui dan makna kata kala mengacu pada sesuatu yang tidak kita ketahui sama sekali. Segera seusai kita miliki pondasi teoretis ini, kita bisa menerapkan pahaman baru kita dengan cara-cara yang praktis. Kita melakukannya dengan menggapai kebenaran dan pengetahuan yang relevan dengan kehidupan manusia; mencari "ilmu" sejati inilah yang disebut cinta kealiman. Dengan mencintai kealiman, kita dapat memasuki tahap-keempat tugas filsafat tanpa menjadi "tersesat di kawasan yang menakjubkan kita", begitulah perumpamaannya. Hal itu karena tugas terakhirnya adalah sungguh-sungguh menghargai sikap takjub berkeheningan. Dalam pengertian tertentu, semua filsafat berpangkal pada sikap takjub berkeheningan. Sekalipun begitu, filsafat berujung pada sikap takjub berkeheningan juga, sebagaimana yang akan kita saksikan pada Bagian Empat matakuliah ini.

Hal itu akan banyak mendorong kita untuk memikirkan pelajaran pertama kita. Jadi, saya simpulkan saja dengan menambahkan bahwa keempat tugas filsafat yang baru saja saya paparkan tadi bersesuaian secara pas dengan empat "unsur" filsafat yang terlukis pada Gambar 1.1, dan dapat dipetakan pada salib yang sama sebagai berikut:
               takjub berkeheningan

cinta kealiman                     pengakuan kebebalan

               pemahaman kata-kata

Pokok-Pokok Filsafat Tentang Akar Metafisika dan Pengakuan Kebebalan Pekan I Wawasan Membenahi Kehidupan

Masing-masing itu sebaiknya dipandang sebagai tugas yang tiada henti, bukan persyaratan yang harus dipenuhi dengan lengkap sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Karena alasan ini, kita bisa memandangnya sebagai sasaran-sasaran yang kita tetapkan untuk kita sendiri pada setiap tahap berfilsafat.

Artikel keren lainnya: