Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral)- Menjelang akhir kuliah pekan lalu saya membiarkan anda dalam posisi yang kurang nyaman. Ingatkah anda? Anda tersendat di terowongan Lion Rock Tunnel, di dalam bus yang dikemudikan oleh seorang [sopir] yang menyatakan bahwa hal-hal “terjadi” begitu saja, tanpa disebabkan oleh sesuatu. Apa yang sebaiknya anda lakukan pada situasi semacam itu? Alih-alih menjawab pertanyaan ini secara langsung, saya ingin anda mengubah sedikit cerita itu. Mari kita bayangkan bahwa ketika anda menanyai sopir bus itu mengapa ia menghentikan bus, ia tidak mengatakan “Saya tidak …”, tetapi ia mengacungkan pistol dan meminta anda memberi dia semua uang anda dan turun dari bus, atau [kalau anda menolak permintaannya] ia akan menembak. Anda mungkin akan mematuhi permintaannya. Namun sesudah bus itu berlalu, kala anda berjalan kaki menyusuri terowongan, anda mungkin menjadi cukup kalut terhadap hal yang dilakukan oleh orang itu kepada anda. Pada faktanya, sebagian besar dari kita barangkali akan melaporkan tindakannya ke polisi sesegera mungkin, dengan menuduh dia melakukan sesuatu yang salah.
Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral)
Apa landasan rasional bagi klaim kita dalam kasus semacam itu? Mengapa kita menilai tindakan orang itu salah secara moral? Dalam filsafat, jenis pertanyaan ini disebut “etis”. Pertanyaan-pertanyaan etis berkisar pada bagaimana seharusnya kita bertindak. Ada banyak sekali pertanyaan etis—begitu banyak sehingga pada awal kuliah ini pun beragam jenis pertanyaan etis, belum lagi pertanyaan spesifik mengenai kebenaran atau kesalahan tindakan tertentu, belum bisa kita rambah. Pertanyaan etis bagaikan ranting-ranting di ujung suatu cabang pohon: ranting-ranting itu sangat penting, karena di sinilah tumbuh daun dan buah pohon; namun jumlahnya begitu banyak sehingga salah satunya bisa disingkirkan tanpa secara signifikan mengubah penampilan atau kesehatan pohon.
Akan tetapi, ada jenis pertanyaan filosofis serupa yang lebih berbobot daripada pertanyaan etis. Semua pertanyaan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral fundamental tertentu, sebagaimana semua ranting yang berdaun disangga oleh salah satu cabang pohon yang besar. Kesadaran akan pertanyaan yang berkaitan dengan prinsip-prinsip ini adalah fundamental jika kita ingin memahami pohon filsafat. Pada suatu masa, “filsafat moral” dipakai untuk mengacu pada cabang ini sepenuhnya (termasuk ranting-rantingnya). Namun dewasa ini istilah itu jarang dipakai. Segenap cabang filsafat ini yang berkenaan dengan pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral itu kini lebih sering diacu sebagai “etika” saja, dengan “etika terapan” yang mengacu pada ranting-rantingnya dan “meta-etika” yang mengacu pada bagian utama cabang tersebut. Namun untuk menghindari kekacauan, saya pikir lebih baik menggunakan istilah “etika” untuk mengacu pada keseluruhan “ilmu” (dalam arti luasnya) tentang pembuatan putusan-putusan moral, dan mencadangkan istilah “filsafat moral” untuk prinsip-prinsip dasar yang melandasi.
Untuk lebih jelas dfan lebih lengkap mengenai Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral) bisa langsung menuju link dibawah ini :
Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral) [DOWNLOAD]
Secara demikian, “filsafat moral” adalah cabang pohon filsafat yang berawal dengan pengajuan pertanyaan dasar mengenai moralitas, seperti: Apakah manusia bebas? Bagaimana kita bisa menetapkan perbedaan antara baik dan buruk? dan Bagaimana etika bisa nirmustahil? Tentu saja, istilah “filsafat moral” tidak mengacu pada “cara berfilsafat yang baik”, seperti yang diperlawankan dengan filsafat “immoral” yang buruk. “Filsuf moral” bisa saja sama immoralnya dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari! Namun bagaimanapun, tujuan hakiki filsafat moral bukan sekadar memahami apakah kebaikan itu, melainkan memanfaatkannya untuk membantu kita menjadi orang yang lebih baik. Begitu pula, sebagaimana Jonathan Si Camar mulai terbang dengan jauh lebih cepat segera seusai ia pahami penerbangan, pemahaman pondasi moral bagi putusan-putusan etis mesti membantu kita menentukan pilihan yang lebih bijaksana dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu filsafat moral yang paling berpengaruh diajukan oleh Immanuel Kant. Kritik pertama Kant membantu kita dalam meraih beberapa wawasan fundamental mengenai hakikat metafisika pada Bagian Satu, sehingga kita akan mencurahkan sebagian besar waktu kita pada jam ini untuk memeriksa Kritik kedua Kant, yang di dalamnya ia menyarankan cara yang menarik dalam menghadapi kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Critique of Pure Reason mengambil sudut pandang “teoretis” untuk menunjukkan bagaimana ruang, waktu, dan kategori-kategori membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak (yakni apriori sintetik) demi pengalaman insani (dan karenanya memungkinkan pengetahuan empiris kita tentang obyek-obyek fenomenal), sedangkan Critique of Practical Reason, sebagaimana yang akan kita saksikan (bandingkan Gambar III.4, III.6, dan IV.4), mengambil sudut pandang “praktis” untuk memperagakan bagaimana kebebasan dan hukum moral membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak demi tindakan moral (dan karenanya memungkinkan penilaian moral kita tentang obyek-obyek nomenal). Kita dapat memaparkan pembedaan itu dengan peristilahan yang lebih sederhana, dengan mengatakan bahwa Kant dalam buku-buku tersebut mengembangkan dua cara (yaitu dua “sudut pandang”) yang berbeda dalam memandang alam: ia mengambil sudut pandang kedua (bandingkan Gambar II.8 dan III.4).kepala di Kritik pertama dan sudut pandang perut di Kritik.
Memandang dua perangkat ide yang berlawanan sebagai wakil-wakil dari dua sudut pandang itu sering dapat membantu kita dalam melihat bagaimana keduanya bisa benar, walaupun mulanya tampak bertentangan. Sebuah contoh yang sederhana akan menolong kita dalam menjernihkan hal ini. Kebanyakan dari anda sekalian barangkali sedikit-banyak pernah melihat salah satu dari banyak gambar yang dipakai oleh psikolog untuk mengetes bagaimana benak kita mencerap obyek-obyek. Ada gambar yang dapat melambangkan dua obyek yang sepenuhnya berlainan, yang bergantung pada bagaimana ini dicerap. Untuk contoh, lukisan yang terdapat pada Gambar VIII.1 terlihat seperti sebuah cawan jika kita berfokus pada bidang gelap di tengah. Namun bila kita melihat sisi-sisinya, tiba-tiba kita melihat dua wajah yang saling berhadapan. Jawaban mana yang benar? Tentu saja, keduanya benar, masing-masing dengan jalannya sendiri-sendiri. Hal yang sama sering berlaku dalam filsafat, bilamana ada dua jawaban yang terlihat bertolak belakang terhadap pertanyaan yang sama, jika ternayata bahwa masing-masing jawaban mendekati pertanyaan dengan cara yang berbeda, atau dengan sudut pandang yang berbeda.
Di Kuliah 9 kita melihat bagaimana Kant menyatakan bahwa, dalam proses pemerolehan pengetahuan teoretis, berbagai “ide” biasanya timbul dalam benak siapa pun yang berpikir secara rasional mengenai pengalaman mereka sendiri: yang terpenting di antaranya adalah ide tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian (lihat CPR 29). Namun ia mengemukakan sebuah masalah mengenai ide-ide itu; jika Kant benar, kita niscaya bebal akan realitas yang ditunjukkan oleh ide-ide tersebut. Ia mengklaim, realitas “nomenal” tersebut berada di luar tapal batas kemungkinan pengetahuan kita. Namun demikian, kita jangan ceroboh, seperti halnya beberapa penafsir, menganggap bahwa Kant berpandangan skeptis tentang ide-ide tersebut. Padahal, salah satu alasan penolakannya terhadap kemungkinan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang ide-ide tersebut adalah keyakinan bahwa siapa saja justru mustahil membuktikan tiadanya realitas-realitas tersebut. Tak seorang pun bisa membuktikan bahwa pandangan kita tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian itu khayalan belaka, karena untuk melakukannya, orang itu perlu memiliki pengetahuan tentang kenyataan hakiki; dan ini, menurut Kant, mustahil. Karenanya, dengan menyangkal “pengetahuan” [tentang realitas terdalam] itu, Kant membiarkan terbukanya suatu ruang untuk “keimanan” kepada ide-ide tersebut (29)—kendati kita masih perlu mencari alasan yang baik untuk pengadopsian keimanan semacam itu, dalam menghadapi kebebalan teoretis kita. Melalui pemeriksaan syarat-perlu, dalam Kritik kedua, bagi dihasilkannya alam moral ketika kita bergelut dengan nafsu (“perut”) kita, Kant berupaya menyediakan penalaran sedemikian itu, atas dasar bahwa ide-ide itu sendiri pada aktualnya mengarahkan kita ke luar dari bidang teori, menuju bidang praktek.
Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral)
Belum ada tanggapan untuk "Pokok -pokok Filsafat Bagian ke-VIII Membahas Moral (Kebebasan dan Tapal Batas Moral)"
Posting Komentar