Beranda · Pendidikan · RPP · Pengetahuan Agama · Lainnya

Bgaiamana Hukum Selfie menurut Islam ???

Bgaiamana  Hukum Selfie menurut Islam ???- Tak lengkap rasanya sebuah perjalan atau acara apapun tanpa adanya selfie. Itulah keadaan yang sedang terjadi dan marak diIndonesia bahkan diseluruh Dunia. 

Fenomena  demam selfie yang sekarang terjadi diperparah dengan melakukan Upload foto selfie melalui media sosial bahkan dibagikan kepada teman-teman dimedia sosial atau lewat handpone dengan aplikasi lain.  

Demam selfie yang terjadi bukan hanya melanda sebagian masyarakat tapi hampir semua masyarakat melakukannya bahkan tak jarang ditemui foto-foto selfie wanita muslimah dimedia sosial yang banyak dilihat oeleh banyak orang. 

Berangkat dari kejadian seperti ini maka timbul dalam benak kita mengenai selfie, entah itu dari definisi, bentuk fotonya dan bagaimana pandangan Islam mengenai praktik foto selfie serta bagaimana hukumnya ?.
Bgaiamana  Hukum Selfie menurut Islam ???

Lihat juga : Kecantikan Wanita dalam Islam

Praktik Pengambilan gambar (foto), adalah perkara muamalah yang hukum asalnya boleh. Kaidah fikih menyebutkan, al-Aslu fil mu'amalah al-ibahah hatta yadullu ad dalilu 'ala at-tahriimihi (asal hukum mu'amalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya). 

Ada sebagian kelompok memang  mengharamkan foto atau pengambilan gambar dengan cara apapun,  khususnya foto dengan objek makhluk bernyawa. Mereka berpendapat, foto sama saja dengan gambar atau lukisan. Mereka berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Sesungguhnya, manusia yang paling keras disiksa di hari Kiamat adalah para tukang gambar (yang mereka yang meniru ciptaan Allah)." (HR Bukhari Muslim).

Tetap, pendapat golongan ini banyak dibantah oleh orang-orang. Bahkan ada bantahan yang paling mematahkan  yaitu bantahan dari teknis fotografi  sendiri.  Mereka mengatakan bahwa Teknik pengambilan foto sama sekali berbeda dengan lukisan. Tidak ada unsur meniru dalam fotografi karena hanya mencetak objek hasil dari bayangan. Jadi, fotografi sama sekali tak bisa disamakan dengan melukis, seperti disebutkan dalam hadis tersebut.

Dengan berkembangnya kemajuan didunia ini dan adanya tuntutan zaman modern serta kebutuhan umat manusia akan foto sangatlah tinggi, contohnya seperti urgensi foto pada surat kabar, ijazah, serta pencatatan sipil lainnya. Foto juga biasanya digunakan sebagai  bahan investigasi atau bahan alat bukti pihak kepolisian dan pengadilan, dokumentasi dan pencatatan sipil warga negara, serta hal-hal penting lainnya. Semuanya itu mutlak membutuhkan adanya foto sebagai salah satu penyempurna alat bukti.

Menanggapi  Persoalan selfie  bisa mengikut pada hukum asal dari praktik foto itu sendiri, yakni mubah. Adapun halal atau haram dari hukum berfoto, itu bergantung pada tujuan dan niat dari si mukalaf (pelaku). Kita bisa mengambil analogi mengenai hukum foto, contohnya  mubah menggunakan telepon seluler. 

Menggunaka telfon seluler hukumnya boleh  Jika digunakan untuk berkomunikasi, adapun  Jika digunakan untuk berdakwah, Menyambung silaturrahim dan hal baik lainya, maka  hukumnya bisa berubah menjadi mandub (sunah), bahkan bisa menjadi wajib dalam keadaan lain. Namun, jika digunakan untuk menipu, menghina, atau melecehkan orang,  maka hukumnya haram. Seperti halnya menggunakan telfon seluler, Selfie juga masuk dalam kategori itu.

Lihat juga : Kemuliaan wanita dalam Islam

Tidak menutup kemungkinan juga  selfie bisa menjadi mandub. Misalkan, seorang anak yang merantau dan jauh dari orang tuanya. Untuk mengobati kerinduan, si anak selfie di daerah perantauan dan mengirimkannya kepada orang tuanya. Bisa saja hal ini dihukumi mandub dan berpahala karena si mukalaf telah melakukan kebaikan dengan selfie yaitu membuat tenang hati orang tua mengenai keadaannya dirantau.

Foto selfie juga bisa menjadi haram jika membawa pada yang haram. Misalkan, selfie yang diunggah ke media sosial dengan tujuan riya atau pamer karena telah melakukan kebaikan. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan, apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS an-Nisa' [4]: 142).

Mengenai Persoalan riya dan ujub adalah persoalan hati manusia. Seseorang tak bisa menilai foto orang lain apakah dia riya atau tidak. Semuanya kembali kepada si pemilik foto. Hanya dia dan Allah SWT saja yang lebih mengetahui tujuan dan niat dari foto selfie-nya. Selama tak ada niat atau tujuan yang mengarah pada keharaman, tentu saja selfie tak bisa pula diharamkan begitu saja. 

Selfie memang lebih banyak digandrungi golongan wanita pada umumya.  Namun tak jarang juga banyak lelaki yang melakukan foto selfie. Oleh karena  itu bagi saudaraku sekalian erkhusus, bagi  para Muslimah yang ingin selfie, dipesankan untuk menjaga adab-adab Islami ketika berfoto. Misalnya, menutup aurat secara sempurna dan memastikan tidak ada aurat yang tersingkap. Di samping menjaga akhlak dan sikap dengan baik, Muslimah dipesankan untuk tidak meniru pose-pose yang tidak layak sehingga berpotensi membangkitkan keinginan orang-orang jahat untuk berbuat negatif.

Pandangan Islam terhadap praktik selfie dan foto tidak sekaku yang saudara fikirkan. Kita harus ingat bahwa hadist yang disampaikan oleh Nabi masih mempunyai kemungkinan untuk ditafsiri dan memiliki ruang untuk diperluas pemahamanya. Kita bisa mengkaji Hadist pengharaman foto itu dengan cara menTakhrij Hadist tersebut dan disingkrongkan dengan hadist Nabi yang lainya yang berhubungan dengan foto. 

Mengenai Hukum berfoto baik itu foto formal atau non formal (Selfie), penulis tidak bisa menentukan Halan dan Haramnya. Akan tetapi penulis hanya menyarankan mengkaji kembali Hadist tersebut. Seandainya penulis hanya mengambil kesimpulan pendek dari dalil-dalil yang di kemukakan penulis di atas, bisa saja penulis menentukan hukum mubah dengan dasar kaidah fikih diatas, namun penulis tidak mau sembrono dalam menentukan hukum karena masih ada kemungkinan hukum lain dengan berdasarkan kaidah fikih lain yang berbunyi Al-Hukmu Yadurru Ma`a `Illatihi  (Hukum suatu perkara itu bergantung pada sesuatu yang melatarbelakangi lahirnya perkara tersebut).

Lihat juga : Emansipasi wanita dalam pandangan Islam

Sekian sedikit tulisan yang bisa penulis sajikan mengenai Bgaiamana  Hukum Selfie menurut Islam ???, apabila ditemui kesalahan dalam penulisan atau pemahaman penulis kami mohon kritik dan saran para pembaca.

Artikel keren lainnya:

Jangan Pernah Takut Pada Apapun

Jangan Pernah Takut Pada Apapun- Apa yang yang anda fikirkan dan apa yang akan terjadi di jika seseorang melewati suatu tempat sementara ada benda keras di hadapannya siap menghantam tubuhnya, sedangkan orang tersebut tak punya kuasa dan jalan sedikitpun untuk menghindar ? Apa juga yang akan terjadi jika seseorang berjalan di suatu tempat sementara di sekitarnya bertebaran benda-benda tajam siap menusuk-nusuk telapak kakinya, sedangkan orang tersebut tak punya keinginan sedikitpun untuk beranjak mundur?
Jangan Pernah Takut Pada Apapun

Takut ( خوف ) adalah bentuk perasaan yang ALLAH karuniakan kepada kita agar kita dapat menghindar dari segala yang dapat menciderai diri kita. Kita mengelak dari besi tajam yang siap menghujam, berkelit dari kejaran binatang buas yang siap menggigit, berlari dari kobaran api yang siap membakar, surut ke belakang ketika kaki sudah di tepi jurang. Semua itu karena takut.

Tak ada yang mendorong kita untuk berlindung atau menghindar dari bahaya, kecuali rasa TAKUT. Tak ada yang mendorong kita untuk berupaya mencari dan memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat kecuali dengan adanya rasa TAKUT. Maka apa jadinya jika ALLAH tidak mengaruniai kita rasa takut ? Takut kepada segala marabahaya dan kemarahan, juga takut kepada api neraka dan kemurkaan-NYA.

Lihat juga : Selfie dalam Islam

Tentu saja dengan mudahnya kita akan tertimpa malapetaka di dunia dan terjerumus ke dalam perbuatan yang menghantarkan kita kepada kesengsaraan dan penderitaan di akhirat ,seandainya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak mengaruniai kita rasa TAKUT. Karenanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengajari kita untuk berdo’a :
اللهم اقسم لنا من خشيتك ما يحول بيننا وبين معاصيك
(Ya, Tuhan kami. Karuniailah kami rasa takut kepada-MU, yang dengan itu menjauhlah kami dari berma’shiyat kepada MU)

Takut Yang Bersifat Tabi’at

Takutnya kita kepada tikaman senjata, terkaman binatang, jilatan api, terjatuh dari tempat yang tinggi, atau tenggelam ke dalam air merupakan takut yang bersifat tabi’at (khauf thabi’iy). ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memang telah memperlengkapi kita dengan perasaan ini, sebagaimana juga perasaan benci dan cinta -yang dengan itu manusia benci kepada siapa saja yang berbuat jahat kepadanya dan cinta kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya-. Karena nya takut yang bersifat tabi’at ini tidaklah berdosa, selama tidak menjadi sebab dilalaikannya perintah atau dilanggarnya larangan ALLAH. Namun jika lantaran takut terluka atau cidera kemudian kita enggan berangkat ke medan jihad, maka takut semacam ini menjadi berdosa.

ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman:
( فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ) (آل عمران: من الآية175)
(…Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-KU jika kalian orang beriman) (Ali Imran: 175)
Maka ketika kita tiba-tiba muncul rasa takut dari hal-hal yang dapat menciderai tubuh, hendaknya kita bertanya ,”Kenapa harus takut. Apakah yang muncul ini semata tabi‘at dan ia tidak menyebabkan dilalaikannya perintah atau dilanggarnya larangan ALLAH. Masih bolehkah aku merasa takut, atau sudahkah rasa takut ini menjerumuskan aku kepada dosa?“

Takut Yang Bersifat Ibadah

Kita tegakkan sholat, shaum di bulan Ramadhan, tunaikan zakat, berhaji ke baitullah, dan amalkan segala bentuk ibadah lainnya seperti zikir, berdo’a, atau i’tikaf tidak lain karena mengharapkan kebaikan -berupa keridhoan ALLAH dan ganjaran-NYA- atau karena menghindari keburukan -berupa kemurkaan ALLAH dan hukuman-NYA-. Manakala seseorang melakukan sebentuk upacara ritual -yang tidaklah ia lakukan itu kecuali didorong oleh rasa takut, yakni takut terhadap bahaya atau petaka yang akan menimpa jika ia tidak melaksanakan upacara tersebut-, maka yang semacam ini semua merupakan takut yang bersifat ibadah (khauf ibadah). Jika takut semacam ini ditujukan kepada atau disebabkan oleh selain ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa, maka takut yang demikian merupakan sejenis kesyirikan. Begitu pula, manakala seseorang menanam ari-ari bayi di depan rumah kemudian memberinya penerangan selama 40 hari, atau menggantung janur kemudian menanam kepala kerbau di saat menegakkan bangunan -tidaklah ia lakukan yang demikian kecuali karena takut tertimpa petaka-, maka takut yang demikian merupakan sejenis kesyirikan.

Bukankah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman :
(قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) (الأنعام:162)
(Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku,hidup, dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb semesta alam) (Al An’am: 162)

Lihat juga : Tips menjadi kaya dalam sekejap

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan kita melalui do’anya:
ببسم الله الذي لا يضر مع إسمه شئ في الأرض ولا في السماء و هو السميع البصير
(Dengan Nama ALLAH Yang dengan NYA tak ada satu pun yang dapat mencelakakan, di langit maupun di bumi. Dan IA Maha Mendengar dan Maha mengetahui)

Takut Yang Tersembunyi

Takut yang tersembunyi (khauf sirry) adalah takut yang sesungguhnya tidak beralasan dan tidak pada tempatnya kita merasa takut. Dan tidaklah timbul rasa takut semacam ini kecuali karena telah tertanam keyakinan bahwa sesuatu yang ditakutinya itu dapat mendatangkan mudharat atau petaka baginya. Maka takut yang demikian ini (sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin –rahimahullahu ta’alaa- di dalam Syarah Tsalatsatul Ushul) merupakan jenis kesyirikan.

Perhatikanlah, wahai kaum muslimin. Betapa upaya untuk menanamkan bibit kesyirikan kepada umat melalui jalan ini begitu nampak. Para produser film dan sutradaranya -atas nama imaginasi dan kreativitas seni- menjadi kader dan pelanjut para pendongeng primitif, ramai-ramai menebarkan khauf sirry ini. Entah dari mana atau siapa yang mengilhami mereka untuk menceritakan kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan rasa takut manusia kepada syaithan atau jin itu.

Akhirnya sebelum rasa takut kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tertanam pada anak-anak kita -bahkan orang dewasa sekalipun- rasa takut mereka kepada syaithan sudah tertanam lebih dahulu. Kalau dikatakan kepada mereka, “Jangan lakukan ini atau itu, nanti dimurkai ALLAH!” Kita dapati mereka melanggarnya karena tidak takut sama sekali terhadap kemurkaan ALLAH. Akan tetapi, kalau dikatakan kepada mereka,”Jangan lakukan ini atau itu, nanti jin atau syaithan penunggu tempat ini akan marah!” Kita dapati mereka segera menta’ati larangan atau perintah itu karena takut mendapat petaka. Kalau dinasihatkan kepada mereka,”Jangan bergaul dengan bajingan itu, karena dia sangat berbahaya dan tega mencelakakan dirimu!” Kita dapati mereka tetap bergaul akrab dengan bajingan tersebut dan tidak takut sama sekali bajingan tersebut akan menipu dan memperdayakannya. Namun jika dikatakan kepada mereka, “Tolong temani sebentar mayat (bajingan) temanmu ini di ruang mayat sendirian sementara keluarganya belum datang melayat!” Kita dapati mereka mencari teman lain karena takut menunggui mayat tersebut sendirian.

Manakala anak-anak kita lebih takut kepada ceritra-ceritra takhayul temannya ketimbang amarah dan pukulan orang tuanya, atau dia lebih berani berkelahi -dengan lawan yang lebih besar sekalipun- ketimbang harus pergi sendirian ke kakus yang terletak jauh di belakang rumah, sesungguhnya anak tersebut telah mengidap khauf sirry dan bibit-bibit kesyirikan. Karena tidaklah khauf sirry itu muncul kecuali karena ada keyakinan bahwa yang ditakuti itu memang layak untuk ditakuti, sebagaimana seharusnya perasaan tersebut ditujukan semata kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.

Maka jika muncul perasaan takut ketika kita harus meliwati daerah pekuburan di malam hari, sehabis mendengar ceritra-ceritra takhayul dan khurafat, atau karena mendengar longlongan anjing di tengah malam, hendaklah kita bertanya, “Kenapa harus takut. Apakah sesuatu yang tak dapat menciptakan -walau sebiji kacang- dapat mencelakakan dan mendatangkan petaka bagiku. Kenapa takut yang telah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa karuniakan kepada ku -demi keselamatanku- harus aku tujukan kepada yang tidak dapat menyelamatkan diriku?“

Kenapa Harus Takut ?

Ya, kenapa harus takut itu artinya: Apakah takutnya kita kepada sesuatu hanya bersifat tabi’at? Apakah takut yang bersifat tabi’at itu telah menyebabkan kita melalaikan perintah dan melanggar larangan ALLAH Subhaanahu wa ta’alla ? kenapa kita harus takut hanya kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa ?

Ya, takut adalah sebentuk perasaan yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa karuniakan justru demi keselamatan hamba-NYA di dunia maupun di akhirat. Yang dengannya seorang hamba menjauh dari segala yang dapat mencelakakan dirinya. Maka bagaimana mungkin perasaan yang ALLAH karuniakan kepada kita dengan rahmatNYA itu kemudian kita persembahkan kepada selain ALLAH. Sebagaimana kita diciptakan untuk beribadah kepada NYA, maka bagaimana hukumnya jika kemudian kita beribadah kepada selain NYA.

Lihat juga : Kecantikan Dalam Islam

Demikian sedikit keterangan yang Penulis ketahui, Kesimpulannya. Kita sebagai Warga Negara yang patuh pada peraturan Pemerintah, jangan pernah takut dengan ancaman teroris. Kematian bukan mereka yang menentukan, kehancuran bukan pula mereka yang menentukan. kita mati, hancur, bahagia dan tidak itu hanya karena kehendak ALLAH. kita hanya wajib berusaha dan yang menentukan segalanya hanya ALLAH, jangan pernah takut pada teroris atau orang yang hendak menghancurkan Agama kita dari dalam. Semoga tulisan yang berjudul Jangan Takut Teror ini memberi kekuatan kepada kita dan rasa keberanian kita semakin kuat untuk menjaga Bangsa dan Negara kita.

Artikel keren lainnya:

Tips Menjadi Kaya Dalam Sekejap

Tips Menjadi Kaya Dalam Sekejap- Hal yang diidamkan mayoritas manusia dimuka bumi ini adalah tercukupinya setiap kebutuhan, apa yang dia inginkan selalu terwujud dan mudah mendapatkannya. Semua itu dapat dirih oelh manusia kalua dia sadar betul dan selalu percaya pada Allah.

Tips Menjadi Kaya Dalam Sekejap
Adalah tepat jika ada yang berkata amalan hati atau kualitas batin yang terdapat pada diri seseorang sangatlah penting dalam meraih ridha Allah, meski hal ini bukan berarti mengabaikan amalan ibadah yang dilakukan secara fisik (lahiriah). Karena ibadah lahiriah yang baik bersumber dari hati yang baik pula, pantas jika Ibnul Qayyim mengatakan,
ﺃﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻘﻄﻊ ﻣﻨﺎﺯﻝ ﺍﻟﺴﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻘﻠﺒﻪ ﻭﻫﻤﺘﻪ ، ﻻ ﺑﺒﺪﻧﻪ ، ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ؛ ﺗﻘﻮﻯ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﻻ ﺗﻘﻮﻯ ﺍﻟﺠﻮﺍﺭﺡ
“Sesungguhnya hamba hanya mampu melalui berbagai tahapan menuju ridla Allah dengan hati dan tekad yang kuat, bukan dengan amalan lahiriah semata. Ketakwaan yang hakiki adalah ketakwaan yang bersumber dari dalam hati, bukan ketakwaan yang hanya berpaku pada amalan lahiriah” (Madaarij as-Saalikiin).

Lihat juga : Awal permusuhan Anjing dan Kucing

Qana’ah adalah Keberuntungan

Salah satu amalan hati yang patut dimiliki seorang muslim adalah sifat qana’ah yang berarti ridla (rela) terhadap segala bentuk pemberian Allah yang telah ditetapkan, tidak dihinggapi ketidakpuasan, tidak pula perasaan kurang atas apa yang telah diberikan. Tahu bahwa segala rezeki telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, sehingga hasil yang akan diperoleh sebagai ‘imbal jasa’ dari usaha yang dicurahkan tidak akan melebihi apa yang telah ditakdirkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Dia-lah yang menetapkan siapa saja di antara hamba-Nya yang memiliki kelapangan rezeki, dan siapa diantara mereka yang memiliki kondisi sebaliknya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS al-Israa : 30).
Berangkat dari hal tersebut di atas, Islam mendorong para pemeluknya untuk berakhlak dengan sifat yang mulia ini, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قد أفلح من أسلم، ورُزق كفافًا، وقنعه الله بما آتاه
“Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki dan dianugerahi sifat qana’ah atas segala pemberian” (Hasan. HR. Tirmidzi).
Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran.  Dalam hadits di atas rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan keberuntungan dengan tiga hal yaitu keislaman, kecukupan rezeki dan sifat qana’ah, karena dengan ketiganya seorang muslim akan mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Dengan berislam seorang akan memperoleh keberuntungan karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridlai Allah, sumber keberuntungan yang memberikan peluang untuk memperoleh pahala dan keselamatan dari siksa. Demikian pula, dengan rezeki yang mencukupi akan menjaga diri dari meminta-minta, dan dengan adanya sifat qana’ah akan mendorong untuk bersikap ridla, tidak menuntut dan tidak merasa kurang atas rezeki yang diterima. Boleh jadi seorang berislam, akan tetapi diuji dengan kefakiran yang melupakan, atau diberi kecukupan rezeki namun tidak memiliki sifat qana’ah, maka hal tersebut akan justru membuat hati tidak tenang dengan rezeki yang ada, sehingga berujung pada kefakiran hati dan jiwa (Bahjah Quluub al-Abraar wa Qurrah ‘Uyuun al-Akhyaar).

Maka, sifat qana’ah akan membawa seseorang keberuntungan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Munawi,
قد أفلح من أسلم ورزق كفافًا: أي ما يكف من الحاجات ويدفع الضرورات، وقنعة الله بما آتاه: فلم تطمح نفسه لطلب ما زاد على ذلك؛ فمن حصل له ذلك فقد فاز
“Sungguh beruntung orang yang berislam, memperoleh kecukupan rezeki, yaitu rezeki yang dapat mencukupi kebutuhan dan mengantisipasi kondisi darurat. Dan dianugerahi sifat qana’ah, di mana jiwanya tidak berambisi untuk memperoleh melebihi kebutuhan. Maka siapa saja yang memiliki ketiga hal tersebut sungguh telah beruntung” (at-Taisir bi Syarh al-Jaami’ ash-Shaghiir).

Lihat juga : Lahirnya Babi, Kucing dan tikus

Memperoleh kekayaan yang hakiki

Beberapa hadits nabi menjelaskan bahwa kekayaan hakiki itu letaknya di hati, yaitu sifat qana’ah atas rezeki yang telah diberikan Allah, bukan terletak pada kuantitas harta.

Ibnu Baththal menjelaskan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, -di mana beliau mengatakan bahwa kekayaan hakiki adalah kekayaan hati-,
معنى الحديث ليس حقيقة الغنى كثرة المال، فكثير من الموسع عليه فيه لا ينتفع بما أوتي، جاهد في الازدياد لا يبالي من أين يأتيه. فكأنه فقير من شدة حرصه، وإنما حقيقة الغنى غنى النفس، وهو من استغنى بما أوتي وقنع به ورضي ولم يحرص على الازدياد ولا ألحّ في الطلب. وقال القرطبي: وإنما كان الممدوح غنى النفس لأنها حينئذ تكفّ عن المطامع فتعزّ وتعظم، ويحصل لها من الحظوة والشرف والمدح أكثر من الغنى الذي يناله مع كونه فقير النفس لحرصه، فإنه يورّطه في رذائل الأمور وخسائس الأفعال لدناءة همته وبخله وحرصه، فيكثر من يذمه من الناس فيصغر قدره عندهم فيصير أحقر من كل حقير وأذلّ من كل ذليل
“Arti hadits ini adalah kuantitas harta yang banyak bukanlah kekayaan yang hakiki. Banyak orang yang memperoleh keluasan harta tidak mampu mengambil manfaat dari harta yang diperoleh, mereka bersungguh-sungguh mencari harta yang berlimpah tanpa mempedulikan dari mana harta itu berasal, seolah-olah dirinya adalah seorang yang fakir karena saking semangat dalam mencari. Sesungguhnya kekayaan hakiki adalah kekayaan hati, yaitu dengan merasa cukup, qana’ah, dan ridla terhadap apa yang diberi serta tidak tamak mencari dan terus-terusan meminta kelebihan harta. Al-Qurthubi berkata, “Sifat yang terpuji adalah kaya hati karena akan mampu mencegah seorang dari berbagai ambisi yang tak akan berhenti jika dituruti. Dengan sifat tersebut seorang akan memperoleh kehormatan, kemuliaan, dan pujian yang lebih daripada mereka yang kaya harta namun sesungguhnya berhati miskin saking tamaknya dalam mencari harta. Hal itu justru akan menjerumuskan ke dalam berbagai perbuatan yang hina dan tak beretika karena terdorong oleh hasrat yang rendah, sifat pelit, dan ketamakan. Dengan demikian, banyak orang akan mencelanya, memandang remeh kedudukannya meski dia kaya harta, sehingga dia pun menjadi seorang yang paling rendah dan hina” (Syarh Shahih al-Bukhari).
Tolok ukur kaya dan miskin itu terletak di hati. Siapa yang kaya hati, tentu akan hidup dengan nyaman, penuh kebahagiaan dan dihiasi dengan keridlaan, meski di kehidupan nyata dia tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Sedangkan seorang yang miskin hati, meski memiliki segala apa yang ada di bumi kecuali uang seratus perak, niscaya akan tetap memandang bahwa kekayaannya terletak pada seratus perak tersebut. Dirinya tidak akan merasa cukup, kecuali dia telah memiliki uang itu. Demikianlah, qana’ah pada hakikatnya adalah kaya hati, kenyang dengan apa yang ada di tangan, tidak tamak, tidak pula cemburu dengan harta orang lain, tidak juga meminta lebih terus menerus, karena jika terus terusan meminta lebih, itu berarti masih miskin.

Salah satu penafsiran terhadap al-hayah ath-thayyibah (kehidupan yang baik) sebagaimana dalam firman Allah di surat an-Nahl ayat 97 adalah sifat qana’ah. Penafsiran ini dikemukakan oleh sahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhum (Tafsir ath-Thabari). Dalam ayat tersebut terkandung dalil bahwa Allah akan memuliakan para hamba-Nya yang beriman dengan memberikan hati yang tenang, kehidupan yang tenteram serta jiwa yang ridla, yang semua itu menunjukkan akan keutamaan qana’ah. Tidak diliputi kegelisahan karena merasa kekurangan atas jatah rezeki yang ditetapkan, tidak pula dihinggapi berbagai penyakit hati yang meresahkan jiwa sehingga terkadang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang buruk. Di awal sudah disebutkan, bahwa hati yang baik akan melahirkan amalan lahiriah yang baik. Sebaliknya, hati yang buruk karena dijangkiti penyakit akan melahirkan perilaku yang buruk.

Lihat juga : Perbedaan tipis antara kaya dan miskin

Sumber : Madaarij as-Saalikiin
               at-Taisir bi Syarh al-Jaami’ ash-Shaghiir

Artikel keren lainnya: