Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari- Filsafat Bahasa
16. Filsafat Analitik: Positivisme dan Bahasa sehari-hari
Dengan telah memeriksa tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”, dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, tugas kita yang tersisa di Bagian Dua ini adalah mempertimbangkan bagaimana penekanan yang berlebihan pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang lalu saya memperlihatkan perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme (lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.
Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari
Pada jam kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf. Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf saat ini, identik dengan “peralihan linguistik”.
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting, ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara pengungkapan makna linguistik seluruhnya dengan simbol-simbol logika. Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa”, dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Untuk lebih luas dan lengkap mengenai Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari silahkan unduh saja di bawah ini :
Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari [DOWNLOAD]
Salah seorang filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead, menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk menjadi mahasiswanya di Cambridge.
Jika Frege dapat dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya, tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau tiga orang filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya, yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari
Belum ada tanggapan untuk "Pokok-pokok Filsafat bagian ke VI tentang Filsafat Bahasa, Filsafat Analitik Positivisme dan Bahsa Sehari-hari"
Posting Komentar