Secara lebih rinci, Kami akan menjelaskan mengenai hukum islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah
Kedudukan wanita yang sama dengan pria dalam pandangan Allah dapat ditilik dalam QS. Al-Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah iman dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya
Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam dapat dirujuk dalam QS. An-Nisa : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha MEngetahui segala sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan
Kedudukan wanita dan pria terkait dengan warisan dapat dirujuk dalam QS An-Nisa’ : 7, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan terkait kedudukan pria dan wanita rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.
4. Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu sama dapat dilihat dalam QS Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11 QS An-Nisa : 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah Kami kemukakan, maka dapat diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
Lihat juga : Perbedaan alami sifat wanita dan laki-laki
EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI
Wanita merupakan bagian terbesar dari komunitas masyarakat secara umum. Apabila mereka baik, niscaya masyarakat pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh, apabila seorang wanita muslimah benar-benar memahami agama, hukum dan syari’at Allah, niscaya mereka akan mampu melahirkan generasi-generasi baru yang tangguh dan berguna bagi umat seluruhnya.
Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat : 33. Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya) :
“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.
Opini-opini sesat yang terbentuk terkait emansipasi memberikan kesan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Oleh karena itu agar wanita dapat maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan ajaran islam.
Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan akhlaknya.
Para pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan pelbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti "mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara pria dan wanita ini agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu, tetap dapat bertindak obyektif dan adil.
Perlu ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Misalnya, memilih menjadi wanita karier, padahal tugas mencari nafkah adalah kewajian seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan wanita dan pria adalah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam Al-Baqarah : 228, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”
Islam didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS : At-Taubah : 7 yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kata Auliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif mencakup kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Hal tersebut berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa. Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.
Lihat juga : Perbedaan karakter cewe dan cowo yang membuat hubungan jadi rusak
Jadi, pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari berbagai aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan wanita itu sendiri.
Belum ada tanggapan untuk "Emansipasi Wanita dalam Pandangan Islam"
Posting Komentar