Ideologi Pendidikan- Ideologi pendidikan : Sebuah konsep
Ideologi adalah sebagai sebuah konsep, para ahli maaengemukakan definisi atau pengertian tentang ideologi dari berbagai perspektif. Ideologi memperoleh makna tertentu melalui wacana dan konteks. Ia bisa bermakna sebagai sesuatu yang positif, netral yang bersumber dari ide-ide tertentu, namun juga ia bisa dimaknai sebagaiyang neggatif. Sinomin dengan tipu daya dan kefanatikan. David Mclellan member pengantar untuk topic ideologi dimulai dengan menyatakan: Ideologi adalah suatu konsep yang paling sukar di pahami dalam ilmu sosial secara keseluruan.
Dalam penggunaan sehari-hari, ideologi cenderung menjadi istilah negative yang terutama digunakan untuk mengelompokan ide-ide yang bias dan/atau ekstrim. Untuk menghidari kesalah pahaman arti ideologi, maka perlu melihat pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai berikut :
1. Ideologi sebagai pemikiran politik
2. Ideologi sebagai kepercayaan dan norma
3. Ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos, serta
4. Ideologi sebagai kekuatan elite.
Sebagai sebuah konsep istilah, ideologi dimaksud disini adalah serangkaian kepercayaan (belief) yang menjadi orientasi bagi sebuah tindakan. Antoine Destutt de Tracy (1754-1836M), seorang bangsawan yang bersimpati pada revolusi prancis (1789), pengikut rasional gerakan pancerahan, yang menciptakan istilah ideologi Pada 1796. Ia memandang ”ideologi” sebagai ilmu tentang pikiran manusia yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan. Sementara menurut O’Neill, ideologi pola gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan-tindakan dalam pendidikan dipandang sebagai sistem nilai atau keyakinan yang mengarah dan menggerakkan suatu tindakan sosial. Dengan demikian ideologi pendidikan membahas dan mengkaji sistem nilai atau pola gagasan yang menggerakkan tindakan pendidikan inilah yang sering dalam posisi out side kesadaran kita (pendidikan). Sehingga subjek pendidikan sering “awam” atau “mungkin” pura-pura awam dengan sistem nilai atau gagasan tersebut. Implikasinya orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan, utamanya peserta didik, terpasung dan terformat oleh pola gagasan yang berada di luar kesadarannya. Akibatnya dunia pendidikan dijadikan alat legitimate penguasa untuk mempertahankan “status quo” dengan cara memasung kebebasan akademik atas nama asas pancasila.
Persoalan ideologi dalam pendidikan, memang merupakan masalah yang rumit, karena terkait dengan sistem nilai atau pola gagasan yang menjadi keyakinan seseorang atau kelompok bahkan menurut O Neill, upaya untuk mengetahui ideologi pendidikan seseorang biasanya tidak cukup untuk membuat kita tahu apa yang paling mungkin untuk dilakukan dalam penjelasan lebih lanjut, O Neill menggunakan struktur fundamental yang menghubungkan antara sistem nilai dengan kebijakan-kebijakan pendidikan. Dalam hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Prisip-prisip Nilai(volue principles)
Dalam prisip ini akan muncul pertanyaan, apa yang ideal ? (apakah yang memiliki kebaikan tertinggi?) Jawaban dari pertanyaan ini selanjutnya akan menjadi landasan bagi ( basic to…………)
2. Prinsip-prisip moral (moral principles)
Dalam prisip ini akan muncul pertanyaan, prilaku apa yang bermoral ? ( Basic to Establisment of……….)
3. Kebijakan-kebijakan Moral (Moral policies)
Dalam prisip ini akan muncul pertanyaan, tindakan apa yang bermoral ? (Fundomental to………).
4. Kebijakan-kebijakan pendidikan (Education policies)
Pengetahuan macam apakah yang diperlukan, dan bagaimana ia diberikan kepada orang lain ?
Teori ideologi menurut O’Neill ini bersumber dari etika sosial (moral maupun politik) Etika sosial ini kemudian menjadi sistem nilai yang mengarah pendidikan, dan sistrm nilai ini menjadi sebab sekaligus akibat daari perubahan sosial yang mendasar.
Ideologi Konservatif dibagi lagi dalam tiga kelompok yaitu: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme, sedangkan ideologi penddikan liberal dibagi juga dalam tiga kelompok, yaitu: liberalisme, liberasinisme, dan anarkisme. Pemetaan ideologi yang dilakukan O’Neill ini baru sebatas sumbangan teoritis untuk pemetaan ideologi pendidikan di Indonesia.
Secara umum kita mengetahui bahwa peta ideologi pendidikan di Indonesia lebih bersifat sentralistik, karena mengacu pada ideologi Negara yakni ideologi pancasila yang sarat dengan kepentingan-kepentingan penguasa Negara, namun dengan mencoba melalui implementasi instrument pendidikan, kita dapat memetakan ideologi pendidikan nasional berdasar pada teori O’Neill.
Mengkaji ideologi pendidikan di Indonesia, kita memerlukan pengetahuan tentang tripilogi (kurikulm). Dengan sistem MBS yang belum lama diberlakukan oleh pemerintah, disini coba diasumsikan bahwa MBS muncul karena:
1. Keinginan untuk menyelaraskan antara materi pendidikan dengan kebutuhan peserta didik.
2. Keinginan untuk mengoptimalkan otonomi sekolah dan daerah, sehingga beban (pendanaan)sedikit berkurang.
Tetapi pada dataran realitas, ternyata pendidikan di Indonesia, terjadi kesalahan kelola. Ini terbukti pada birokrasi pemerintah yang lebih bersifat inkonsisten, irasional, pragmatis, otoriter dan tidak professional. Karena professional lebih dimaknai sebatas pada bayaran yang tinggi tanpa memerhitungkan kualifikasi, tanggung jawab dan intregritas yang tinggi. Ini adalah warisan orde baru yang hanya mengajarkan kepatuhan dan manipulasi saja.
Ideologi Pendidikan Islam
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan عقيدة (keimanan) dan ibadah khusus (محضة) yang bersifat baku dan operasional, Islam hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai transcedental yang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar diserahkan kepada manusia.
Akan halnya pendidikan, yang merupakan معاملة دنياوية, maka secara fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara terus menerus, seirama dengan perubahan dan tantangan zaman. Hal ini menuntut para pendidik muslim untuk menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan zaman dan mampu menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam.
Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dsan menfasitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Demikian berharganya konsep ini humanisme ini, maka terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang mengklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu : Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama.
Keempatnya memiliki titik-titik kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali Syari’ati mendeskripsi kedalam tujuh prinsip, yaitu:
- Manusia adalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
- Manusia adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat ilahiah yang merupakan ciri menonojol dalam diri manusia.
- Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berpikir.
- Manusia adalah makhluk yang sadar atas dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun perasadaban.
- Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna didepan alam dan dihadapan tuhan.
- Manusia makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima ‘apa yang ada’, tetapi selalu berusaha megubahnya menjadi ‘apa yang semestinya’.
- Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideologi Islam pada dasarnya juga bertolak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implisit dalam konsep fitrah (فطرة) manusia. Namun demikian, humanisme dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan ‘tauhid’ sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai. Namun perlu dijelaskan bahwa semua itu kembali untuk manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam, رحمة لالعالمين (rahmat bagi seluruh alam).
Islam sebagai pandangan hidup yang berlandaskan nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transedental, universal dan eternal (abadi), sehingga akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimanapun (لكل زمان و مكان).
Dengan demikian, karena pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik pendidikan.
Dasar pendidikan Islam adalah yang tergolong intrinsik, fundamental, dan memiliki posisi paling tinggi adalah tauhid karena merupakan seluruh fondasi seluruh bangunan ajaran Islam.
Pandangan hidup tauhid bukan sekedar pengakuan akan keesaan Allah, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan ‘unity of creation’, kesatuan kemanusiaan ‘unity of mankind’, kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan dari kesatuan hidup ‘unity of Godhead’.
Dengan dasar tauhid ini, tampak jelas bahwa pendidikan Islam berlandaskan pandangan teosentrisme (berpusat pada Tuhan).
Perlu juga dijelaskan bahwa pandangan hidup yang melandasi pendidikan Islam merupakan perpaduan
antara teosentrisme dan humanisme, sehingga terbentuklah istilah humanisme-teosentris.
Karena pendidikan Islam juga berlandaskan humanisme, maka nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun posisinya dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam. (رحمة لالعالمين).
Menurut Sikun Pribadi, tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Suatu rumusan tujuan akan tepat apabila sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu perlu ditegaskan fungsi dari pendidikan itu sendiri. Di antara para ahli didik ada yang berpendapat bahwa fungsi tujuan pendidikan ada dua yang kesemuanya bersifat normatif:
Memberikan arah bagi proses pendidikan. Sebelum kita menyusun kurikulum, perencanaan pendidikan dan berbagai aktivitas pendidikan, langkah yang harus dilakukan pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tanpa kejelasan tujuan, seluruh aktivitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau bahkan menemui kegagalan.
Memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dsan diinternalisasikan pada anak atau subjek didik.
Tujuan pendidikan islam merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan. Menurut Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani, tujuan pendidikan Islam memiliki empat ciri pokok.
- Sifat yang bercorak agama dan akhlak.
- Sifat kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar (subjek didik), dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat.
- Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya.
- Sifat realistik dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan perseorangan diantara individu, masyarakat dan kebudayaan dimana-mana dan kesanggupannya untuk berubah dan berkembang bila diperlukan.
B. Paradigma Pendidikan Islam di Indonesia.
Mengarahkan pandangan ke arah pembangunan pendidikan di Indonesia tampaknya membutuhkan keseriusan. Banyak kendala yang menghadang. Tidak hanya aspek internal, melainkan benturan kebudayaan (clash of civization), memaksa pemerhati, pakar dan pelaku pendidikan untuk mengkaji ulang mengenai orientasi sistem pendidikan bangsa. Paradigma pendidikan yang berkembang di Indonesia lebih bersifat pada silent culture.
Dari sini kemdian timbul pertanyan, apa saja aspek kehidupan ini? dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan mempunyai visi berbeda-beda, perbedaan tersebut tidak bisa lepas dari sistem politik dan watak sosiokultural yang mengitarinya. Misalnya, secara historis – sosiologis, Muhaimin memetakan setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan (Islam) sebagai berikut:
1.Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi dan diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, madrasah dan non madrasah, pendidikan agama dan pendidikan umum,dan seterusnya.
Paradigma tersebut pernah terwjud dalam realitas sejarah pendidikan (islam). Pada periode pertengahan, lembaga pendidikan islam (terutama madrasah sebagai perguruan tinggi atau al-jamiah) tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdika pada al-ulum al-madinah. Sementara itu penguasa politik yang memprakasai berdirinya madrasah, mungkin karna dorongan politik tertentu motivasi murni menegakkan ortodoksi, sering mendikte madrasah atau al-jamiah untuk tetap dalam kerangka ortodoksi (kerangka syariah).
2. Paradigma Mekanisme
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri dari berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling konsultasi atau tidak.
Dalam paradigma ini, pendidikan agama sebagai sumber nilai lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau demensi efektifnya dari pada demensi kognitif dan psikomotor, dalam arti demensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan efektif (moral dan spiritual), yang berbeda dangan mata pelajaran lainnya.
Paradigm organisme merupakan kesatuan atau sebagai system (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan atau semangat hidup yang di manifestasikan dengan sikap hidup dan ketrmpilan hidup.Dalam konteks pandangan semacam itu,penting kiranya membangun kerangka pemikiran yang bersumber pada fundamental doctrins dan fundamental volues yang tertuang dalam AL-Quran dan As-Sunnah.
Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan (islam) diharapkan dapat mengintegresikan nilai-nilai pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), memilik kematangan propresional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama (imtag).
C. Menilik Ideologi Pendidikan Pesantren
Dilihat dari pemetaan ideologi pendidikan yang di lakukan oleh O’Neill, dunia pendidikan pesantren di Indonesia dapat di petakan kedalam tiga tipe :
Pertama, idiologi pendidikan konservatif atau idiologi tradisional. Pada model pendidikan pesantren ini, pendidikan tidak lebih hanya sebatas proses transfer of kwoledge, pengalihan dan pemberian pengetahuan dari kiai atau (guru) kepada santri (murid). Idiologi yang di bangun pada model pesantren ini adalah bahwa seseorang wajib untuk menuntut ilmu. Dalam pencarian ilmu itu seorang murid harus melalui guru atau kiai yang menjadi sumber pengetahuan. Ketika sedang menuntut ilmu, maka seorang santri atau murit harus tunduk dan patuk pada apa yang menjadi ketentuan guru( melalui aturan atau kode etik pesantren) yang telah ditentukan secara otoritatif oleh kiai sebagai pengasuh utama di pesantren. Model pesantren seperti ini direpresentasikan oleh pesantren salafiyah (tradisional) pada umumnya.
Kedua, idiologi pendidikan modern (dalam ungkapan O’Neill disebut dengan idiologi liberal). Pada model pendidikan ini, pendidikan adalah sebuah proses pendewasaan diri yang dilakukan oleh pelajar atau siswa atau santri. Sebagai prosese pendewasaan, maka seorang santri harus menjadi subjek dalam proses pendidikan. Ia tidak terbelenggu oleh sekat-sekat “aturan” atau “kode etik” santri. Santri sebagai subjek pendidikan berhak untuk menentukan caranya sendiri dan tujuannya tanpa harus mengikuti apa yang menjadi garis atau aturan guru atau kiai. Dalam proses pembelajarannya santri tidak sekedar menjadi sasaran pendidikan yang diberikan oleh kiai, akan tetapi santri boleh mengkritik dan bahkan “melawan” kiai (dalam konteks menyalahi atau berbeda pendapat dengan kiai). Pada model pesantern ini, santri bisa menentukan sendiri mareri apa yang hendak dipelajari atau memilih kiai (guru) nya.
Ketiga, idiologi pendidikan transvormatif atau partisipatoris, dengan kata lain pendidikan pesantren yang berbasis masyarakat, idiologi pendidikan pesantren yang cukup penting dan berpengaruh bagi umat islam. Pesantren yang memiliki model seperti ini bisa dicontohkan pada kasus pesantren Maslakhul Huda di bawah asuhan K.H. MA. Sahal Mahfudh, seorang kiai yang mempelopori gerakan pendidikan pesantren berbasis masyarakat dalam pesantren model ini pendidikan diarahkan kepada bagaimana pembelajaran di pesantren ini adalah tidak hanya sekedar mempelajari ilmu-ilmu agama (Qur’an, Hadist, Fiqih, Akhlaq, Tasawuf dan lain-lain)
D. Paradigma Baru Pendidikan Tinggi Islam: Integrasi Keilmuan
Mencermati proses serta kenyataan pendidikan yang berlangsung di Indonesia selama ini yang masih mencari bentuk idealnya,kita memulai paradigma penddikan islam yang ideal. Paradigma ilmu selama ini diikuti oleh masyarakat pendidikan di Indonesia yang dikotomik ternyata berdampak pada terjadinaya ketimpangan pengembangan keilmun yang mengarah kepada ilmu yang sekularistik dan ilmu yang fundamentalistik (normatif), dengan adanya pemisahan ilmu agama dan ilmu umum.
Akhir-akhir ini, kehadiran universitas Islam Negeri di beberapa kota di wilayah Indonesia,yakni di Jakarta (UIN syarif hiyatullah Jakarta), di Yogyakarta (UIN Sunan kalijogo Yogakarta), di malan (UIN Malang), dan di pekanbaru (UIN Syarif Qosim Pekanbaru, Riau),salah satu misinya adalah berupa mengembangkan keilmuan yang bersifat integrative.
Namun demikian, penulis melihat kenyataan bahwa di masing-masing UIN tersebut, selain mengembangkan fakultas agama juga mengembangkan fakultas-fakultas umum. Akibatnya, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum lagi-lagi masih terlihat dengan jelas terpisah, yakni masih memeihara pandangan dan perlakuan dikotomi terhadap ilmu. Hal ini diperkuat dengan masih adanya dua lembaga (departemen) pengelola pendidikan tinggi islam, yakni Departemen pendidikan Nasional (Diknas) sebagai tepat bernaungnya fakultas-fakultas umum (seperti saintek dan sosial humaniora) dan departemen agama (Depag) yang menaungi fakultas-fakultas agama (Arab, Dakwah, Syariah, Tarbiyah, dan Ushuludin), yang kedua-duanya memang diakui secara yuridis formal.
Fakta yang demikian, dengan masih lekatnya dikotomisasi keilmuan di Indonesia, tidak berarti penyelanggaraan pendidikan (tinggi) tidak bisa merubahnya, bahkan dengan konversi sejumlah IAIN dan STAIN menjadi UIN adalah sebagai jawaban untuk menuju universitas yang integralistik, yang mengembangkan ilmu secara integratif non dikotomik
PUSTAKA
- Abdurrohman Mas’ud 2002, “ Sejarah dan budaya Pesantren “ dalam Ismail SM ( ed ), Dinamika Pesantren dan Madrasah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Ahmad Arifi , 2005, “ Paradigma Pendidikan Pesantren berbasis Masyarakat “, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta : fakultas tarbiyah UIN Sunan Kalijogo, Volume 6, Nomor 2, Juli 2005.
- Ahmad Tafsir , 1984, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. Kedua, Bandung : Remaja Rosdakarya.
- Atho Mudzhar , 1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Belum ada tanggapan untuk "Ideologi Pendidikan"
Posting Komentar